Sepenggal kisah pelayanan Pdt. Eirene Grace
Nanuru
di Kapatlap, Raja Ampat Tengah, Tanah Papua
Tiga tahun terhitung sejak Agustus
2015, saya ditempatkan oleh GKI di Tanah Papua untuk melayani jemaat GKI
Solideo Kapatlap, Klasis Raja Ampat Tengah. Ada 63 jemaat di Klasis ini yang
dilayani oleh 16 orang yang terdiri dari pendeta dan guru jemaat. GKI Solideo
Kapatlap sendiri merupakan jemaat kecil yang terletak di wilayah Distrik
Salawati Utara, Kabupaten Raja Ampat.
Saya tinggal bersama suami dan dua
anak saya, Miracle (10 thn) dan Zeanneth (5 thn) di Klasaman Klaurung, Sorong,
Papua Barat. Meskipun Kapatlap tidak jauh dari Sorong, wilayah ini sudah
termasuk Kabupaten Raja Ampat, dan biasanya saya menjangkaunya menggunakan
perahu mesin 15PK dengan memakan waktu satu setengah jam jika kondisi laut
teduh, dan dua jam jika datang ombak dan angin kencang. GKI Solideo, Kapatlap
memiliki 60 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 245. Pekerjaan mereka
sehari-hari adalah nelayan yang mencari ikan di laut. Bukan sebuah pekerjaan
yang ringan untuk dijalani untuk menjangkau jemaat ini karena:
Kondisi cuaca di laut yang tidak
menentu, dan transportasi laut yang terbatas sering menjadi kendala, beberapa
kali diperhadapkan gelombang laut yang dasyat di siang hari maupun malam hari, apalagi
karena tidak ada yang mengurus, maka saya selalu membawa kedua anak saya dalam
pelayanan dari satu jemaat ke jemaat yang lain menyeberangi laut.
Sekolah Dasar yang ada di sana hanya
memiliki 3 orang guru yang harus mengajar 6 kelas. Buruknya lagi, guru-guru pun
lebih sering meninggalkan tugas karena alasan-alasan tertentu. Tidak
mengherankan ada banyak anak meskipun sudah kelas 6 belum dapat membaca,
sementara orang tua tidak dapat memotivasi anak untuk belajar karena mereka
sendiri banyak yang buta huruf. Kondisi seperti ini yang mendorong saya dan majelis
kerja ekstra untuk anak-anak lewat program bahitus (baca – hitung - tulis), program
Sekolah Alkitab Liburan, dan program Ayo Baca Alkitab. Proram-program ini
sangat membantu menambah motivasi anak untuk belajar dan membaca.
Sumber daya alam tersedia melimpah
tetapi sumber daya manusianya kurang kompetensi, khususnya dalam mencari ikan.
Kebanyakan mereka menjual ikan ke penadah dengan harga yang cukup murah sekitar
Rp.20.000,- padahal penadah akan menjual ke kota dengan harga yg cukup tinggi. Masyarakat
hanya mencari dan menjual secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Beberapa kali saya membeli ikan dari
masyarakat untuk dijual ke kota, karena mereka kesulitan bahan bakar untuk
mengangkutnya, sementara es balok untuk mengawetkan ikan pun tidak tersedia.
Mesin genset untuk penerangan tidak dimiliki semua orang di kampung, sehingga
kegelapan masih menyelimuti di sebagian area.
Lahan tanah yang tersedia sebagian
besar tanah pasir dan rawa dan masyarakat menanam hasil kebun hanya sekedar
saja di pekarangan untuk kebutuhan sehari-hari. Tanaman jangka panjang yang
tumbuh di sana seperti kelapa dan durian belum dapat diolah atau dipasarkan
sesecara baik pada musimnya. Saya sebagai pendeta yang melayani di jemaat dengan
keterbatasan yang dimiliki harus berusaha keras membuka wawasan dan pemikiran
jemaat dengan memberi contoh. Saya menjadikan lingkungan pastori sebagai daerah
hijau, bukan saja dengan bunga, tetapi juga dengan sayuran yang bisa tumbuh di
tanah pasir, misalnya sayur Gedi, daun singkong, pepaya, tanaman katok. Awalnya
selain untuk contoh, juga untuk konsumsi sendiri, tetapi pada proses
selanjutnya ketika ada jemaat yang memerlukan mereka dapat mengambil. Saat ini sudah ada yang mencontoh dan berusaha
menanam di sekitar rumah mereka.
Bagi saya pelayanan itu bersifat
holistik/menyeluruh. Iman harus disertai perbuatan, berdoa juga harus disertai
usaha, semua harus seimbang. Kegiatan-kegiatan ibadah, pembinaan, pastoral
dapat berjalan baik jika jemaat sudah terbuka wawasannya. Seorang pelayan pun harus kreatif dan berkreasi
menemukan solusi menjawab pergumulan bersama. Belum banyak yang dapat
dilakukan, tetapi paling tidak ada hal kecil yang bisa memberikan sedikit
terang dan harapan bagi jemaat Solideo Kapatlap. (Kapatlap, November 2018, Pdt.
Grace)
***Catatan Pengalaman di STUBE HEMAT
YOGYAKARTA***
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Saat aktif kuliah di Yogyakarta, saya aktif
di GMKI Yogyakarta, menjadi pendamping di Rumah Singgah Girlan Nusantara selama
3 tahun, dan aktif di STUBE HEMAT YOGYAKARTA, yang saat itu sangat berperan
dalam membentuk karakter seorang mahasiswa, untuk menjadi seorang pribadi yang
tangguh, kuat, kreatif dan bertanggung jawab. Secara khusus bagi mahasiswa dari
luar Jawa seperti saya, bagaimana bisa punya skill dan berkarya di daerah
masing-masing. Terima kasih untuk Bpk. Pdt.Tumpal
Tobing, mba Ariani, Pdt. Jeane Tadu, Sinyo, Domi, Martha Heby, kak Yos Manu,
Ningrum, dan teman-teman alumi STUBE yang lain yang tidak bisa disebutkan
namanya satu per satu. Pengalaman-pengalaman luar biasa saat itu boleh saya
alami bersama teman-teman. Tuhan Yesus berkati pelayanan kita bersama di daerah
masing-masing.
Komentar
Posting Komentar