Ora Et Labora, Berdoa dan Bekerja: Bergelut Dengan Pengembangan SDM

Oleh Oktrianto F. Wurangian, S.Th.

Menjadi mahasiswa di Jogja tahun 1997 menjadi status mewah bagi saya sebagai seorang anak dari keluarga yang berusaha mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan berjualan sagu dan kue di kota kecil di ujung timur Indonesia, sebelah utara Pulau Papua, yaitu kota Serui. Berbekal beasiswa Rp. 100.000 (seratus ribu) per bulan, dari GKI Papua-Immanuel Serui Kota, saya nekat berangkat ke Pulau Jawa.

Bergelut dengan perkuliahan di STAK MARTURIA, aktif di pelayanan mahasiswa Stube HEMAT Yogyakarta, berjejaring dengan banyak organisasi dan gereja menjadi irama kehidupan saya saat di Jogja. Akhirnya waktu membawa saya menjadi bagian dari devisi Kesaksian dan Pelayanan GKI Pondok Indah Jakarta melakukan kegiatan di desa Hobart kabupaten Sorong, Papua pada tahun 2010. Pelayanan lebih menantang lagi saat gempa di Serui pada tahun yang sama. Bersama 25 mahasiswa dari Yogyakarta kami melakukan aksi kepedulian di Kampung Randawaya selama 1 bulan.

Sekembalinya para mahasiswa ke Yogyakarta, saya tetap berada di Serui untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian Organik dengan membentuk kelompok tani Rambo Organik yang terdiri dari anak-anak kampung putus sekolah, dan yang tamat SMK tetapi tidak dapat melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Pemberdayaan masyarakat di kampung Rambai dan Borai perlu dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada seperti: (1) Luasnya hamparan lahan tidur yang subur, (2) Kurangnya pemahaman bidang pertanian, pembuatan pupuk organik dan pencegahan hama, (3)  Ketergantungan kepada alam dengan masuk hutan dan mengambil hasil yang sudah tersedia di alam seperti sagu dan sayur-sayuran hutan, atau mencari kerang di pantai atau menjaring ikan untuk kebutuhan makan, (4) Bantuan beras dari pemerintah yang membuat masyarakat enggan menghasilkan sendiri, (5) Pola hidup yang suka mabuk-mabukan dan berdampak pada pergaulan bebas yang tidak terkontrol.

Keterpanggilan untuk ikut membangun sumber daya manusia  tidak berhenti pada saya, istri saya, Elfrida K. Siagian, S.Th, terpanggil melihat kualitas pendidikan yang ada dengan membuka les gratis kepada anak-anak di sekitar kontrakan kami. Ada sekitar 30 anak datang belajar membaca dan berhitung.

Kegiatan yang kami lakukan menggerakan hati Ibu Elin, mantan kepala Sekolah Kristen Kasih Bangsa di Serui, dengan bantuan kursi lipat dan papan tulis. Kami juga melakukan pendampingan di beberapa kampung seperti Perea (1 jam dari Serui naik perahu motor), Kairawi (3 jam dari Serui dengan bus dan menyeberang memakai perahu dayung selama 15 menit), dan Panduami (1 jam dari Serui).

Hidup bukan masalah untuk mendapatkan sesuatu melainkan memberi sesuatu untuk kehidupan itu sendiri. Terimakasih untuk Stube HEMAT yang sudah melatih, menjejaringkan dengan banyak pihak, serta mendukung pelayanan yang saya lakukan di Serui. Membangun manusia tidak semudah membangun rumah, dan ada banyak yang menunggu untuk dibangun.***

*Menyapa hujan di akhir November 2018, Omah Limasan, Stube HEMAT Yogyakarta


Komentar