Pendamping Petani Lingkar Tambang

Elisabet Novia Listiawati dari Jatipuro ke Malifut


Tinggal di wilayah yang berbeda pulau dan budaya merupakan tantangan yang harus saya alami. Ini bukan hal yang mudah untuk beradaptasi dengan pekerjaan dan masyarakat setempat. Tapi ini sekaligus sebagai kesempatan yang menyenangkan bagi saya untuk semakin dewasa dan mengenal keberagaman di Indonesia.

Saya berasal dari Jatipuro, Karanganyar Jawa Tengah dan sekarang saya bekerja di Yayasan Bina Tani Sejahtera. Lembaga ini menempatkan saya di kecamatan Malifut, Halmahera Utara sebagai ‘technical field officer’ atau sederhananya pendamping petani. Jadi tugas saya untuk mendampingi dan membina petani dengan metode transfer teknologi praktek budidaya tanaman khususnya hortikultura dan memberikan pengetahuan teknik budidaya tanaman sayur.


Saat ini saya sedang menggarap petani lingkar tambang perusahaan tambang emas PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM). Ini tujuannya supaya petani lingkar tambang memahami teknik budidaya tanaman hortikultura dan meningkatkan nilai gizi masyarakat melalui gerakan makan sayur. Di tahun 2020 PT. NHM akan merevitalisasi perusahaannya sehingga corporate social resposibilities (CSR) perusahaan harus sudah memiliki program yang mengena di masyarakat, sedangkan masyarakat lingkar tambang memiliki mata pencaharian sebagai petani kopra/kelapa sehingga butuh waktu empat tahun untuk panen. Berikutnya, ketika harga kopra jatuh, seperti tahun ini, masyarakat masih bisa mendapatkan income dari budidaya tanaman sayuran.


Dalam pekerjaan ini saya menghadapi tantangan dari masyarakat berupa pola pikir takut gagal dalam budidaya tanaman sayuran, sayuran tidak laku di pasaran dan beberapa kekhawatiran lainnya. Sebenarnya ketakutan ini ada karena belum mencoba sebelumnya. Kekhawatiran lain adalah masyarakat petani belum percaya penuh kepada perusahaan, sehingga perusahaan sulit meyakinkan masyarakat tentang peluang budidaya tanaman sayur. Sebenarnya kalau berbicara mengenai potensi di kawasan setempat sebenarnya bagus, misalnya tanah belum dimanfaatkan optimal, air tersedia walaupun harus gali sumur beberapa meter, peluang pasar terbuka karena suplai sayur masih dikirim dari Manado, Sulawesi Utara.


Upaya yang saya lakukan untuk itu, pertama, saya menerima bahwa inilah karakter petani di daerah ini, kedua, saya ajak satu petani membuat demplot di lokasi strategis sehingga orang-orang yang lewat bisa melihat dan mengamati tanaman yang kami usahakan. Harapannya timbul keinginan mereka untuk belajar budidaya sayuran. Terbukti memang awalnya sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Petani butuh bukti dan harus ada seseorang yang mau memulai dan membuktikannya sendiri. Ketika sudah berhasil maka perkembangan informasi di kalangan petani akan cepat. Sejauh ini pandangan mereka tentang budidaya tanaman sayur sudah mulai berubah, padahal awalnya tanaman hortikultura ini sebagai tanaman sampingan dari kelapa.


Saya berani melanglang buana di berbagai daerah karena saya menemukan diri saya mudah beradaptasi dan ingin bermanfaat bagi sesama. Ini saya temukan di Stube-HEMAT Yogyakarta karena saat mahasiswa saya mengikuti pelatihan di lembaga ini. Sebagai wadah pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, lembaga ini memberi saya kesempatan berinteraksi dengan beragam mahasiswa dari berbagai daerah dan merasakan Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya, bahkan tinggal di Sumba dalam program Exploring Sumba pada tahun 2015. Stube-HEMAT Yogyakarta menjadi pintu gerbang perjalanan pelayanan saya sampai di Timor Tengah Selatan, Halmahera Utara dan berharap berlanjut ke daerah lainnya. Anak muda, tetapkan tujuanmu, lakukan apa pun kebaikan dengan sepenuh hati maka semua impianmu menjadi luar biasa, dan cintai apa yang sedang kamu kerjakan.


Komentar