Oleh Elisabeth Uru Ndaya, S.Pd.
Budaya
patriarki yang masih kental di tengah-tengah masyarakat menjadikan kaum
perempuan masih rentan
terhadap aksi kekerasan. Ketergantungan kepada kaum laki-laki dalam berumah
tangga, menjadikan perempuan bungkam ketika menerima perlakuan tidak
menyenangkan ataupun kekerasan. Hal ini bukanlah semata-mata karna kesalahan
para kaum laki-laki tetapi juga pemahaman kaum perempuan yang masih menjadi persoalan. Kurangnya
pemahaman, pendidikan, dan pola pikir yang masih belum merdeka menjadikan
mereka bergantung sepenuhnya pada kehidupan laki-laki.
Hal seperti
inilah yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan saat ini. Saya Elisabeth Uru
Ndaya sebagai perempuan muda yang sudah banyak dididik oleh Stube-HEMAT, ada keprihatinan dan
keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi para kaum perempuan
Sumba, khususnya di kampung saya Tanatuku, jemaat GKS Karunggu. Dengan adanya
pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, diharapkan dapat
mendorong kehidupan para kaum perempuan di tempat ini untuk mempersiapkan kehidupan
rumah tangga dengan meningkatkan keterampilan dan keahlian sumber daya
perempuan melalui produksi, kewirausahaan, dan pengelolaan usaha.
Setelah banyak
berdiskusi bersama Petrus Ndakularak, Pendeta sekaligus Ketua BPMJ GKS Jemaat
Karunggu, dan beberapa pemuda lainnya, akhirnya diputuskan untuk kembali membangkitkan
komisi ibu-ibu, dan komisi pemuda - remaja yang sudah lama tidak aktif. Pada
tanggal 1 September 2019, menjadi titik awal bagi saya untuk melakukan
pendekatan terhadap ibu-ibu dalam sebuah forum kecil di salah satu rumah jemaat di Karunggu dengan didampingi
oleh salah satu majelis jemaat GKS Karunggu.
Sangat
bersyukur karena hanya
saya sendiri perempuan yang belum berkeluarga hadir di tengah-tengah mereka
dengan dihadiri 11 orang ibu-ibu dan semuanya merupakan ibu rumah tangga. Di
sesi pertama, diskusi kami awali dengan doa pembukaan, sharing tentang persoalan yang sering mereka hadapi dalam mengurus
sebuah keluarga, berdiskusi sejauh mana keterlibatan mereka dalam sebuah organisasi
yang ada dan keterampilan apa yang mereka miliki saat ini selain menjadi ibu
rumah tangga. Di sesi ke dua saya
memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap mereka tentang kesetaraan,
bagaimana mewujudkan ekonomi kreatif dan di sesi terakhir saya memberikan ide
agar di setiap pertemuan komisi ibu-ibu tidak hanya diadakan persekutuan tetapi
diadakan arisan ibu-ibu.
Inilah yang
menjadi langkah awal saya mendampingi komisi ibu-ibu di jemaat GKS Karunggu, dalam
membangkitkan semangat mereka untuk selalu ada dalam satu persekutuan. Semoga
dengan hadirnya kembali komisi ibu-ibu yang saya dampingi, perlahan-lahan dapat
membantu mensejahterakan rumah tangga mereka masing-masing. (ELZ).
Komentar
Posting Komentar