Oleh Eva Saragih, S.Pd.
Setelah lulus kuliah
ternyata saya ditempatkan di salah satu pulau perbatasan Riau dengan Malaysia,
yaitu di kabupaten Meranti, tepatnya di Selatpanjang, bukan di Pekanbaru kota
asal saya. Selatpanjang adalah ibukota kabupaten Meranti, Propinsi Riau yang memiliki
lokasi strategis karena berada di jalur pelayaran dan perdagangan antara Riau
daratan dan Riau Kepulauan, serta jalur internasional selat Malaka antara
Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, sehingga kota ini memiliki daya tarik
investasi dan ekonomi. Kondisi geografisnya berupa dataran rendah dan sebagian rawa-rawa
dan hutan mangrove. Perjalanan dari Pekanbaru menuju Selatpanjang ditempuh selama
lima jam menggunakan kapal menyusuri sungai Siak, dilanjutkan dengan bus dan
kapal lagi, sedangkan angkutan umum di kota menggunakan becak motor.
Mayoritas penduduk Selatpanjang
adalah etnis Tionghoa dan Melayu yang memeluk agama Buddha, Konghucu, Islam dan
Kristiani. Pemeluk agama Buddha dan Konghucu ada banyak di daerah ini sehingga perayaan
Tahun Baru Imlek sangat meriah dengan festival Perang Air atau Cian Cui Festival, yakni dengan menembakkan
air dari rumah-rumah mereka ke setiap orang yang mereka temui. Penarik becak
laris manis ‘dibooking’ oleh mereka jauh-jauh hari sebelum imlek untuk dipakai berkeliling
kota bersama keluarga dengan membawa drum air, alat tembak air hasil rakitan
sendiri dari pipa. Sejujurnya, daerah ini sulit air bersih karena air di sini
cenderung berwarna merah, kuning dan coklat karena pengaruh jenis tanah, jadi
setiap rumah pasti memiliki tampungan air hujan, baik bak dalam tanah, gentong
atau drum di depan rumah. Di awal kedatangan di Selatpanjang, mobil yang berlalu-lalang
di jalan masih satu dua, tetapi sekarang terlalu banyak mobil di jalanan kota.
Saat mengajar adalah
perjuangan karena sulitnya komunikasi menggunakan bahasa Indonesia secara tepat
sehingga sering terjadi kebingungan saat bicara. Saat ulangan pun mereka
kesulitan memahami pertanyaan, misalnya “Apakah kamu sudah makan? Makan apa?” Jawabannya
adalah “Sudah, tadi makan susu.” Logikanya, susu itu diminum bukan dimakan. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia dengan struktur bahasa Hokkian, bahasa ibu mereka,
sehingga struktur bahasa Indonesia terbalik-balik. Seperti saat mengatakan jam
setengah 11 atau 10.30, menjadi ‘jam 10
setengah’. Pernah suatu ketika seorang siswa bercerita kalau mamanya berangkat
ke Batam untuk melahirkan, “Miss, mama saya berangkat ke Batam mau melahirkan
anaknya”. Awalnya saya bingung, namun
kemudian saya tertawa sendiri karena merasa aneh mendengar cerita tersebut,
karena yang dilahirkan itu adiknya sendiri.
Kosakata bahasa Indonesia
belum banyak mereka kuasai, sehingga sering bertanya kata-kata baru yang mereka
temukan saat saya menjelaskan sesuatu saat kelas literasi, misalnya, sukar, gorong-gorong,
dan dispenser pun pernah ditanyakan oleh siswa. Saya mencari cara agar siswa
bisa paham maksud dalam mengajar, yaitu menjelaskan dengan pelan, menggunakan
media mengajar dan selalu memastikan apakah mereka mengerti maksudnya.
Terkadang saya mengulang kembali materinya. Saat ulangan, saya membantu mereka dengan
membacakan pertanyaan agar mereka paham pertanyaan tersebut, saya selalu
mengintip pekerjaan mereka untuk memastikan mereka paham pertanyaan tersebut, walaupun
terkadang masih terjadi salah persepsi. Cara lain yang saya lakukan adalah mengajak
mereka bercerita dan meluruskan ucapan mereka agar semakin banyak kosakata yang
mereka miliki dan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Mayoritas masyarakat di sini
memeluk Buddha dan Koghucu, yang memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang
banyak sekali, dan saya baru tahu kalau dewa juga memiliki hari ulang tahun,
seperti yang saya lihat di film-film. Dewa-dewa itu mereka arak keliling kota
diiringi musik dan tarian kemudian menyalakan kembang api. Saat mereka sakit,
mereka tidak pergi ke dokter tetapi bertanya kepada dewa mereka. Apabila belum
sembuh dan doa-doa kepada dewa-dewa tidak mempan juga, maka mereka akan pergi
ke pulau Bali demi kesembuhannya karena menganggap dewa-dewa di Bali lebih
kuat. Tak jarang saya mendengar cerita tentang dewa-dewa mereka dari para murid
saya.
Inilah kenyataannya yang
saya alami untuk hidup, mengajar dan berjuang di Selatpanjang, mengabdikan diri
untuk meningkatkan pendidikan siswa di kota ini dengan aneka macam budaya dari
penduduknya. Meski tulisan pengalaman ini sedikit, saya berharap bisa menambah pengetahuan
tentang budaya dan kebiasaan di Selatpanjang dan memberi semangat mengajar
teman-teman di Stube HEMAT di berbagai pelosok Indonesia. (Eva Saragih).
Komentar
Posting Komentar