Sumba memiliki daya tarik
keindahan alam dan keunikan budaya, tetapi juga mengalami kendala di bidang
transportasi, komunikasi, pendidikan dan kesehatan. Namun demikian ini tidak
menyurutkan saya untuk kembali ke kampung halaman setelah menyelesaikan studi
di Yogyakarta tepatnya dari STIKES Wirahusada Yogyakarta jurusan Kesehatan
Masyarakat. Saya, Aryanti Rawambaku berasal dari desa Karita, kecamatan
Tabundung, kabupaten Sumba Timur. Letak kecamatan Tabundung di bagian selatan
pulau Sumba dan kebanyakan bergunung-gunung memperlambat perkembangan kawasan
dibanding wilayah lainnya.
Saat ini saya bekerja di
Puskemas Banggawatu, yang melayani lima desa, yaitu Banggawatu, Tapil, Tarimbang,
Praimudi dan Uimanu, sekitar 80 km, Barat Daya Waingapu. Sebagai tenaga
kesehatan di sebuah puskesmas yang baru dibentuk, tentu fasilitasnya belum
lengkap bahkan belum ada saluran air bersih, jaringan listrik dan komunikasi,
apalagi mess tenaga kesehatan. Oleh karena itu dinas kesehatan kabupaten setiap
minggu mengirim air menggunakan truk tangki. Ada 22 orang yang bertugas di
Puskesmas ini dan saya bertanggung jawab dalam program promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat berkait kesehatan, dengan tugas advokasi kesehatan,
penyuluhan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS rumah tangga, sekolah, institusi
kesehatan dan tempat umum), pengembangan media promosi kesehatan, pemberdayaan
Usaha Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM posyandu, poskestren), dan kemitraan
bidang kesehatan.
Kegiatan yang saya
lakukan berkaitan dengan tujuan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di
lingkungan terdekat Puskesmas melalui sosialisasi kesehatan penduduk,
kebersihan rumah dan lingkungan dan peningkatan gizi melalui pelatihan mengolah
pangan lokal di Puskesmas, misalnya mengolah singkong menjadi onde-onde, jagung
muda menjadi dodol dan agar-agar daun kelor. Juga penyuluhan Pola Hidup Bersih
dan Sehat di beberapa sekolah dan saya bertugas memberi penyuluhan di Sekolah
Dasar Inpres (SDI) Tarimbang dan mendampingi sejumlah 77 siswa SD belajar
praktek mencuci tangan dengan benar.
Tantangan yang sering
dihadapi ketika melayani masyarakat bukan pada kemampuan mereka menangkap
informasi yang diberikan tetapi sulitnya mengubah perilaku masyarakat dalam
menerapkan pola hidup bersih dan sehat, contohnya saat akan makan, mereka ingin
segera makan dan mencuci dengan air sekedarnya saja, kemudian dalam program
membuat WC rumah tangga, penduduk mengatakan ‘siap’ tetapi kenyatannya
diabaikan saja dan tidak terwujud karena alasan tidak ada uang, masih sibuk dan
karena yang lain belum membuatnya. Ada juga yang sudah punya WC tetapi tidak digunakan
karena sudah terbiasa buang air besar di hutan dengan alasan praktis dan tidak
perlu banyak air. Ada kecenderungan mereka membuat WC karena ada rasa sungkan
dan takut kepada perangkat desa setempat.
Strategi awal yang
dilakukan oleh team kesehatan adalah pendekatan keluarga dari lingkungan
terdekat Puskesmas, mengajak masyarakat bergotong royong membuat WC, menerapkan
sistem arisan pembuatan WC, kerja sama dengan pemerintah desa karena
masing-masing desa setiap tahun mendapat anggaran pembuatan 10 buah WC
permanen. Sampai saat ini di sekitar puskesmas sekitar separuh rumah sudah
memiliki WC. Metode edukasi kesehatan lainnya adalah pemutaran film di rumah
penduduk sehingga saya bisa berdialog langsung dengan mereka dan
mendengar keluhan kesehatan yang mereka rasakan.
Pengalaman bekerja di Puskesmas
baru memang tidak mudah, di satu sisi harus melayani kebutuhan kesehatan dan
mengkampanyekan cara hidup bersih dan sehat kepada masyarakat meski keadaan
alam yang tidak mudah. Saya harus bisa menjadi contoh untuk menerapkan hidup
bersih dan sehat itu sendiri. Ada motivasi menarik ketika saya di Yogya
mengikuti kegiatan Stube tentang kemampuan bertahan hidup sebagai mahasiswa. Ketika
di Yogyakarta saya bisa selesai kuliah, tentunya di kampung halaman sendiri
saya mestinya lebih bisa eksis dengan menerapkan ilmu yang saya miliki.
(Aryanti Rawambaku).
Komentar
Posting Komentar