Untukmu, Pulau Sabana, Aku Kembali


Mimpi awal ketika saya meninggalkan tempat kelahiran, Lainjanji, Wulla Waijilu, Sumba adalah ingin menjadi perawat, dengan melanjutkan studi di Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO). Namun keinginan itu tinggal kenangan, karena saat ini saya tidak bekerja merawat orang, tetapi sebagai alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta (UST) jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, saya mengemban misi mengabdi di institusi pendidikan untuk mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa ini.


Sekarang saya menjadi salah seorang guru honorer komite di SMP Negeri 2 Wulla Waijilu, membantu Ibu Naomi Ndamung, S.Pd sebagai guru Bahasa Inggris, yang juga selaku kepala sekolah. Ketika saya masih di Yogya setelah lulus studi, saya sudah diminta untuk masuk dan mengajar di lembaga ini. Keputusan untuk kembali ke Sumba menjadi sebuah pergumulan, terlebih menggantungkan hidup dari penghasilan mengajar, sebuah pertaruhan. Awalnya saya tidak ingin menjadi guru dan ingin membuat usaha di Sumba. Setibanya saya di Sumba, saya sakit selama seminggu dan situasi mendesak saya membuat keputusan. Dua Maret 2019, Sabtu sore hari, saya membawa berkas untuk menjadi guru di SMP Negeri 2 Wulla Waijilu. Senin, 4 Maret 2019 adalah hari pertama mengajar dan saya bertanggung jawab mengajar bahasa Inggris kelas VII 3 kelas, kelas VIII 3 kelas, dan kelas IX 3 kelas. Sekolah ini terletak sekitar 120 km dari kota Waingapu ke arah timur.



Menjadi guru tidaklah mudah. Seorang guru harus siap fisik dan mental karena harus siap menghadapi ratusan karakter peserta didik, sabar, percaya diri, kompeten, dan siap mengerjakan perangkat guru dan data administrasi lainnya, terlebih menjelang ulangan atau pun ujian, harus siap dengan kisi-kisi, koreksi, analisis nilai dan pengisian rapor siswa.


Setiap pagi saya berangkat menempuh jarak kurang lebih 7 km ke sekolah, dari desa Lainjanji ke desa Latena. Saya tidak memiliki kendaraan, sehingga saya harus meminjam sepeda motor adik sepupu saya, Efrem. Setelah beberapa bulan berlalu, saya memberanikan diri mengajukan pinjaman di bank, untuk mengkredit sepeda motor, itu pun bukan sepeda motor baru, tetapi cukup membantu mobilitas saya. Meski gaji tidak seberapa, jika dikalkulasi gaji guru honorer tidak sebanding dengan biaya hidup ditambah dengan kebutuhan kendaraan (oli, bensin atau kerusakan lainnya), saya tetap bertekad untuk ikut mencerdaskan anak-anak di daerah saya.


Untunglah sewaktu kuliah di Yogyakarta, hampir setiap pelatihan di lembaga Stube–HEMAT saya ikuti, sehingga saya memiliki banyak bekal untuk bertahan dan terus maju. Selain mengajar, saya juga tetap memperhatikan dunia pertanian, membantu mengelola jambu mete milik orang tua, menanam sayur, dan berdagang. Saya juga berencana di awal tahun 2020, membuka les bahasa Inggris untuk anak-anak. Jadi, tidak ada kata menyerah untuk bertahan hidup, andalkan Tuhan dan rajin bekerja, niscaya hidup akan diberkati. (Siprianus Ndawa Lu).

Komentar