Kembalinya seorang anak muda ke kampung
halaman setelah menempuh kuliah di kota menjadi tantangan tersendiri baginya,
karena ia akan berhadapan secara langsung dengan tantangan berupa realitas
kehidupan di tengah masyarakat yang jauh berbeda dari idealisme yang dibangun selama proses kuliah di kota. Bahkan tidak
jarang ia mengalami frustasi dan kebingungan apa yang harus ia lakukan di
kampung halamannya.
Situasi ini
juga saya alami ketika kembali ke kampung halaman, di desa Pugungraharjo, setelah saya menyelesaikan
studi di Yogyakarta. Saya Redy Hartanto, dari desa Pugungraharjo, sebuah desa kabupaten Lampung Timur, provinsi Lampung. Tahun
2014 merupakan awal keberangkatan saya menuju Yogyakarta untuk kuliah Teologi di Sekolah Tinggi
Agama Kristen Marturia Yogyakarta. Selama kuliah antara 2014-2019 saya mengikuti beberapa
kegiatan organisasi di luar kampus, salah satunya kegiatan di
lembaga Stube-HEMAT
Yogyakarta. Saya mengikuti beberapa program pelatihannya, yaitu Entrepreneurship, Gereja dan Politik,
Manajemen Konfilk, Pertanian
Organik, Warisan Budaya: Dari Lokal Menuju Dunia, Parenting Skills, Multikultural
dan Dialog Antar Agama, Belajar dari Kegagalan: Sebuah Strategi, dan bahkan
kesempatan menjelajah di Sumba dalam program Exploring Sumba. Kegiatan-kegiatan
tersebut benar-benar menambah wawasan saya, seiring kesadaran bahwa itu semua akan
bermanfaat ketika saya hidup di tengah masyarakat nantinya. Proses panjang itu telah
saya lewati hingga akhirnya wisuda Desember 2019.
Dua minggu
setelah wisuda saya pulang ke kampung halaman dengan mimpi menerapkan setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat sehingga bermanfaat bagi banyak orang. Namun ternyata,
saya juga masih bingung apa yang harus
saya lakukan pertama. Ya, memang saya memiliki tujuan menjadi pendeta, namun proses menjadi
pendeta tidak dalam dalam waktu singkat, membutuhkan proses dan tahapan dan saya butuh ‘masa
transisi’ untuk mempersiapkan diri lebih matang. ‘Apa yang akan saya lakukan sekarang?’
ini menjadi pertanyaan dalam diri, dan akhirnya saya memilah
pengalaman-pengalaman yang saya temukan, termasuk di luar kampus, salah satunya
entrepeneurship tentang sebuah pelajaran berharga dalam pelatihan entrepeneurship untuk memanfaatkan potensi yang
ada di daerah sekitar.
Ini
menjadi ide untuk
merintis
bisnis kopi
kemasan karena Lampung
merupakan penghasil kopi terbesar kedua di Indonesia setelah Sumatera Selatan. Selain itu di desa saya belum ada yang
menjual kopi kemasan dengan kualitas premium, kebanyakan kopi di pasaran terbuat dari campuran biji
kopi dan beras atau jagung. Saya membidik kopi premium sebagai sebuah peluang untuk memulai
bisnis kopi kemasan karena kualitas premium sendiri merupakan produk kopi siap seduh menggunakan biji kopi grade 1 serta proses roasting atau sangrai yang benar
sehingga setiap biji kopi memiliki tingkat kematangan yang tepat. Ini yang menjadi
karakter kopi
maksimal, kopi khas Lampung yang terasa ketika diminum. Kopi premium ini menggunakan bahan
dasar kopi Peaberry Robusta Lampung dan kopi Robusta Single Origin Lampung dan
dipasarkan dalam kemasan 100 gram dan 150 gram.
Saya
mengalami naik turun dalam merintis bisnis yang memanfaatkan potensi lokal, kehilangan
semangat ketika tidak ada pembeli, atau stok kopi habis ketika ada pesanan mendadak. Stok produk
memang tidak banyak karena menjaga kualitas kopi dengan rasa maksimal yaitu kopi yang sudah di-roasting tidak boleh melebihi 3 bulan, selebihnya aroma
dan rasa sudah mulai berkurang. Namun optimisme kembali muncul ketika pesanan datang malah dari luar daerah. Sebenarnya ini
bagian dari mimpi besar untuk menjadi contoh bagi kaum muda di desa saya dengan
membangun
usaha sendiri dengan memanfaatkan potensi lokal, dan salah satunya adalah kopi. Saya berjuang dari diri sendiri dan membuktikannya
karena saya berada di desa yang cenderung menuntut adanya bukti baru kemudian
orang-orang tertarik
untuk mengikuti. Saya terbuka untuk mentransfer semangat dan pengetahuan
tentang kopi
yang sudah berjalan saat ini dengan mengajak anak muda yang memiliki keinginan untuk kerjasama, diawali dengan melatih mereka mengenal ciri dan karakter biji
kopi yang baik, pengolahan, pengemasan produk dan pemasaran.
Setiap anak
muda yang pulang dari kota setelah menyelesaikan studi tentu memiliki
pergumulan pribadi masing-masing dan ia harus cerdas menemukan apa yang
harus ia lakukan dalam ‘masa transisi’. Bekal wawasan luas menjadi penting
ketika pengetahuan di kampus dilengkapi dengan pengalaman yang didapat di luar
kampus tanpa
melupakan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Di situlah saya menemukan alternatif baru yang tidak saya
dapatkan di kampus, dan akhirnya bermanfaat ketika di kampung halaman. Kemampuan
memetakan potensi lokal ini menjadi nilai plus saya ketika nantinya menjadi
pendeta jemaat, tidak hanya menyediakan makanan rohani dalam pelayanan gereja
tetapi juga tercukupinya kebutuhan ekonomi jemaat melalui usaha-usaha berbasis
potensi lokal. Ini menjadi tantangan anak muda yang sedang menempuh studi di
kota, lengkapi ilmu di bangku kuliah dengan pelatihan-pelatihan di luar kampus
yang memperkaya pengalaman sebagai bekal hidup di tengah masyarakat. (Redy Hartanto)
Komentar
Posting Komentar