Guru merupakan profesi dengan
tantangan unik, tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada anak didik, tetapi
juga mewujudkan ‘ruang belajar’ supaya anak didik bisa ‘mengalami’ langsung materi
yang ia pelajari. Terlebih sebagai guru Pendidikan Agama Kristen, aspek
spiritual siswa juga menjadi perhatian dalam proses pendidikan tersebut. Proses
pendidikan merupakan kerjasama sinergis antara guru, anak didik, lembaga pendidikan, keluarga dan
masyarakat, yang
membutuhkan partisipasi masing-masing pihak untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas.
Hal di atas menjadi
tantangan saya, Sukaningtyas, guru Pendidikan Agama Kristen
di SMKN 3 Wonosari, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama
Kristen dan Budi Pekerti, saya juga mendapat peran sebagai wali kelas jurusan
Mekatronika dengan siswa
sebanyak 35 orang dengan beragam latar belakang keluarga dan agama. Ada ‘image’ di masyarakat bahwa siswa
SMK lebih sulit
dihadapi dari pada anak SMA, dan ini saya hadapi apalagi sebagian besar
dari mereka adalah laki-laki. Perkelahian,
bolos sekolah, masalah pertemanan, ekonomi hingga masalah keluarga pernah saya hadapi selama
mendampingi mereka. Awalnya tidak mudah karena selama ini saya lebih ‘concern’ ke
pendidikan anak bukan remaja, namun bekal tambahan melalui pelatihan dan sharing pengalaman berbagai interaksi
yang pernah saya ikuti bersama Stube-HEMAT membantu saya dalam upaya mendampingi mereka sebagai guru mata
pelajaran maupun wali kelas.
Pengalaman pelatihan Pendidikan Alternatif, Gender, Multikultur dan eksposur lapangan dengan
berkunjung dan berdiskusi langsung dengan praktisi pendidikan, lintas agama dan
gender membuka
perspektif, mengubah paradigma tentang pendidikan dan menginspirasi bahwa anak didik
bukan sekedar obyek tetapi memiliki keunikan dalam setiap pribadinya, khususnya saya sebagai
guru adalah fasilitator,
menempatkan diri sebagai ‘rekan belajar’ dalam proses
pembelajaran dan mendorong mereka aktif
bertanya, menemukan dan mengungkapkan pemikiran mereka, terinspirasi dari pepatah
kuno Konfusius ‘aku mendengar aku lupa, aku melihat aku ingat, aku melakukan aku paham’
sampai pada ‘aku menemukan
sendiri aku
menguasai.
Partisipasi keluarga dan pendekatan personal
Keberhasilan proses
pendidikan membutuhkan peran orang tua dan
masyarakat sehingga ini memberikan
semangat saya mengunjungi
ke rumah setiap anak didik untuk mengenal keluarga, kondisi keluarga dan
lingkungannya,
pastinya sangat berpengaruh
pada hidup keseharian dan kepribadian mereka. Kegiatan ini sangat menantang, karena mereka tersebar di tujuh kecamatan
di Gunungkidul dengan geografis daerah datar sampai berbukit-bukit, dan beraneka
kondisi jalan dari aspal sampai berbatu. Ini mengungkap perjuangan mereka untuk
bersekolah sekaligus latar belakang keluarga, pekerjaan orang tua, kehidupan
sehari-hari dan keadaan ekonomi. Temuan-temuan ini membantu
saya mengenal mereka dan
menemukan pendekatan personal yang tepat.
Dalam mengajar Pendidikan
Agama Kristen khususnya materi Keberagaman, saya mendorong anak didik menemukan
masalah yang terjadi seputar keberagaman dan alternatif solusi mengatasi permasalahan tersebut. Untuk
itu saya mengajak mereka berkunjung ke tempat ibadah agama lain dan berdialog dengan pemuka agama
lain untuk memperluas
pandangan mereka dan menumbuhkan
sikap inklusif. Salah
satu kunjungan adalah ke Vihara Buddha ‘Jina Dharma Sada’ di desa Siraman, Gunungkidul untuk berdiskusi dengan Banthe
Bandrasugato tentang berbagai hal berkaitan dengan agama Buddha, antara lain inti ajaran Buddha, perangkat dan tata
ibadah, simbol-simbol dan maknanya.
Saya juga membuka
kesempatan anak didik melakukan observasi peran laki-laki dan perempuan
dengan mengajak mereka melakukan ‘proyek peran’. Pertama, mereka menemukan masalah di seputar permasalahan gender,
kemudian mempelajari apa kata Alkitab tentang gender selanjutnya menyusun
aksi. Berangkat dari
sebagian besar siswa adalah laki-laki, maka saya mengajak mereka melakukan
aktivitas yang selama
ini mereka anggap sebagai tugas perempuan, misalnya mencuci,
membersihkan rumah, memasak di rumah masing-masing. Ini benar-benar mengubah paradigma mereka.
Sejalan dengan visi
Stube-HEMAT untuk memiliki
kesadaran terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya, anak didik dilatih memetakan masalah dan menemukan
solusi. Dalam hal ini saya
menerapkan problem-based learning,
dengan meminta mereka mengamati
masalah di sekitar mereka, apa kata Alkitab dan mendiskusikannya untuk menemukan solusi. Metode ini mampu mendekatkan mereka dengan realitas kehidupan, menumbuhkan
kesadaran terhadap permasalahan
di sekitar dan tergerak
melakukan perubahan kecil
yang bermanfaat. Sebagai contoh masalah kekeringan di Gunungkidul, mereka melakukan
kampanye penanaman pohon di sekitar rumah mereka dan perilaku cuci tangan
sebagai wujud pola hidup bersih dan sehat menghadapi Covid-19.
Pengalaman mengajar saya sampai
saat ini masih dalam perjalanan, sehingga dinamika pembelajaran akan terus
terjadi, bagi saya dan anak didik. Saya berharap tulisan ini bisa memperkaya
wawasan teman-teman Stube-HEMAT di berbagai daerah di tanah air, khususnya bagi
mereka yang bekerja sebagai guru. Teruslah menyemai kebaikan dan kebajikan.
(Sukaningtyas).
The best casino sites 2021 - DrmCD
BalasHapusBest Casino Sites 2021 · Top 5Best casino sites: Microgaming · 시흥 출장샵 Best 수원 출장마사지 casino sites 양주 출장마사지 of 2021 · #1. Microgaming 춘천 출장안마 · #2. Paysafecard · #3. BetVictor · 구미 출장안마 #4. Microgaming.