Pergi untuk Kembali (ke Alor)


Bernardus Z. Weniliwang, S.PAK


Tinggal di pulau Pantar, sebuah pulau kecil di Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki tantangan tersendiri, kaitannya dengan keterbatasan layanan administrasi, transportasi, jangkauan komunikasi, fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Keadaan ini saya alami sebagai anak muda yang berasal dari Alimake, desa Delaki, kecamatan Pantar Tengah, kabupaten Alor. Saya, Bernadus Zakarias Weniliwang, akrab disapa Bernad, lahir di Alimake dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampung halaman sendiri. Pada tahun 2010, setamat SMP saya memutuskan untuk lanjut studi ke pulau Sumba, tepatnya di Sumba Timur.

Ini adalah keputusan sulit bagi seorang remaja usia 15 tahun karena saya harus meninggalkan orang tua dan kampung halaman untuk memperjuangkan kesempatan belajar dan bersekolah di lingkungan yang lebih baik. Ini bukan tanpa alasan karena di kampung halaman saya kala itu fasilitas pendidikan minim dan keterbatasan tenaga pendidik, belum lagi keterbatasan di bidang lainnya. Jika kualitas layanan pendidikan minim maka berdampak pada kualitas lulusan yang kurang kompetitif baik SD maupun SMP, seperti yang saya alami pada masa SMP. Saya tidak pernah juara, bahkan tidak lulus Ujian Nasional dan harus mengikuti Ujian Susulan.


Saya menemukan suasana yang berbeda untuk memulai studi di Sumba dan saya merasa benar-benar berada dalam lingkungan yang mendukung untuk berkembang. Terbukti ketika SMA saya beberapa kali mendapat juara kelas maupun juara umum bahkan menjadi ketua OSIS SMA Negeri 1 Pandawai, Sumba Timur pada tahun 2012/2013. Di perguruan tinggi saya mengambil jurusan Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT GKS. Di sinilah saya mengalami perubahan demi perubahan menuju lebih baik, ketika terlibat secara aktif dalam organisasi di kampus maupun di luar kampus, seperti BEM, Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam, GMNI dan Stube-HEMAT Sumba, termasuk belajar bahasa inggris dan musik secara mandiri.

Usai wisuda, berbagai pertanyaan melintas dalam benak saya, mulai dari apa yang akan saya lakukan ke depan, di mana saya akan menerapkan ilmu saya, apakah tetap tinggal di Sumba atau kembali ke Alor atau ke tempat lainnya, bagaimana keadaan masyarakat di kampung halaman? Pertanyaan ini terus muncul karena sering didiskusikan dalam pelatihan Stube yang saya ikuti, dari Analisis Sosial, Wirausaha Bahan Lokal, dan Pertanian. Dengan pertimbangan mendalam, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Ada keinginan di hati untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat di kampung halaman supaya masyarakat semakin berkembang dengan memperhatikan cara bertani dan mengolah bahan-bahan lokal. Selain itu ada semangat saya untuk memberikan pelatihan pendampingan belajar dan bahasa Inggris untuk pemuda dan anak-anak di Alimake dan merancang aktivitas yang mendukung pariwisata khususnya di pulau Pantar.

Setiba di kampung halaman, saya menghadapi tantangan dunia kerja dan masyarakat, dimana sarjana banyak menganggur karena tidak mendapat tempat bekerja dan lapangan pekerjaan tidak tersedia setiap saat. Bagi pekerja honorer, besaran insentif hononer biasa per triwulan sebesar 200-400 ribu rupiah dan pekerja kontrak daerah sebesar 400-500 ribu rupiah per bulan. Ini belum menjamin kesejahteraan sehingga perlu mencari sumber pendapatan lainnya. Mau tidak mau saya harus berusaha untuk tetap survive dengan memanfaatkan kreativitas dan keterampilan lain yang saya dapatkan di masa kuliah seperti membuat video musik, wirausaha mebel dan menjadi pengojek motor.

Bagi saya, keberhasilan seseorang dalam studi harus diimbangi dengan kemauan diri memberi manfaat untuk orang lain. Dalam konteks masyarakat Alor, keberhasilan adalah ikut ambil bagian dalam meningkatkan kehidupan masyarakat melalui pengalaman yang saya miliki.***

Komentar