Melawan Anggapan ‘Desa Dalam Goa’

Oleh Bernad Liwang, S.PAK


Kabupaten Alor adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, kabupaten Alor merupakan kepulauan yang terdiri dari tiga pulau besar (Alor, Pantar, Pura) dan enam pulau kecil (pulau Buaya, Kangge, Kura, Nuha, Tereweng dan Ternate). Kabupaten Alor memiliki luas 2.928,88 km2 dan terdiri dari 17 kecamatan dan salah satu di antaranya adalah kecamatan Pantar Tengah yang memiliki sepuluh desa dan salah satu di antaranya adalah desa Delaki, desa asal saya. Desa Delaki bisa dijangkau dengan perahu motor dari pelabuhan Kalabahi atau Alor kecil ke arah barat menyeberangi Laut Sawu menyisir sisi selatan pulau Pantar melewati Tamalabang dan Tamakh dan perjalanan darat sampai di Alimake.

Profil desa Delaki sendiri berada di pulau Pantar dan di lereng barat gunung Sirung. Masyarakat desa Delaki berprofesi sebagai petani, nelayan, PNS guru dan beberapa profesi lainnya. Sepuluh tahun lalu, rumah-rumah penduduk masih beratap alang-alang dan berdinding anyaman bambu, kini rumah-rumah tersebut sudah mulai berubah dengan atap seng dan berdinding tembok berkat bantuan pemerintah. Selain rumah-rumah warga yang mulai berubah, ada perubahan lain seperti alat penerangan mulai banyak digunakan, dari bantuan alat solar cell dan jaringan listrik PLN, jalan-jalan setapak serta jaringan komunikasi telepon sudah bisa digunakan meskipun baru sebagian wilayah.

Namun demikian, di balik perubahan yang menggembirakan ini ada tantangan di desa ini yang belum pernah berubah dari dulu sampai sekarang, yaitu pola pikir, cara hidup bertani, berkebun, nelayan dan lain sebagainya. Sebagian masyarakat desa Delaki belum mampu menerima perubahan baru, apa lagi menjadi pelaku perubahan. Mereka masih berpegang pada pola-pola lama secara turun-temurun dari nenek moyang yang dianggap paling baik dan dipercaya hingga saat ini. Misalnya cara bertani, penduduk berkebun dengan cara tradisional yang sering disebut ‘tebang bakar’.  Pada musim kemarau, mereka menebang sepetak hutan atau ladang milik mereka seluas sekitar satu hektar untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah ditebang, lahan tersebut akan dibakar kemudian ditanami beberapa jenis tumbuhan seperti padi, jagung, ubi kayu/singkong dan jenis tanaman lainnya baik umur panjang maupun semusim. Lahan tersebut selanjutnya diolah secara tradisional dan manual tanpa ada alat-alat modern dan alat pendukung pemeliharaan tanaman hingga masa panen, sehingga lahan seluas satu hektar hanya menghasilkan padi tidak lebih dari sepuluh karung ukuran seratus, begitupun dengan jagung dan jenis tanaman lainnya.

Situasi lainnya adalah hasil panen penduduk hanya untuk mencukupi kebutuhan makan selama satu musim dan tidak diperjualbelikan karena memang tidak cukup untuk dijual. Selain pola pikir penduduk yang belum berubah, ini disebabkan ketidaktahuan untuk melakukan terobosan baru bagaimana mengolah hasil panen mereka, sehingga penduduk desa tertinggal jauh dari daerah-daerah lain, sampai ada ungkapan ‘desa dalam gua’, yang artinya desa yang tidak pernah berubah. Padahal, sesungguhnya desa ini menyimpan potensi kekayaan yang bisa dikembangkan, seperti mengolah lahan persawahan dengan sistem pengolahan terpadu, membuat aneka hasil makanan dari hasil ladang, misalnya keripik dari jagung, singkong, membuat minuman jus dari mentimun, pepaya dan aneka produk lainnya.

Jika diperhatikan dengan baik, belum majunya desa bisa dipengaruhi oleh minimnya generasi muda yang berinisiatif melakukan terobosan untuk menghadirkan wawasan baru, pengetahuan untuk memajukan desa, dan perubahan pola pikir, perbaikan cara hidup penduduk desa menuju lebih baik. Alor yang memiliki keunikan di setiap pulau dari budaya tradisionalnya, kerajinan tangan tenun dan asesoris, beragam hasil perkebunan hingga keunikan pemandangan perbukitan dan keindahan panorama bawah laut Alor membutuhkan penggerak untuk kemajuan. Jangan sampai penduduk hanya sebagai penonton terhadap kemajuan yang terjadi.

Tuntutan sekarang, generasi muda khususnya yang berada di Alor, yang hidup terdidik di era modern harus mampu membawa perubahan, memiliki pola pikir maju, kreatif dan inovatif agar menjadi pribadi yang memberi manfaat.***

Komentar

  1. Maka dari sinilah kaum milenial menjadi penopang desa, jangan menunggu. Jemput bola itu yang ditunggu

    BalasHapus
  2. Wahhh, saya ikut terharu, Cerita ini. Semoga kita mendapatkan kekuatan lebih dari Sang Empunya Semesta ini

    BalasHapus
  3. Wahh.. Cerita yang sangat bermanfaat. Harapannya semoga anak muda Alor semakin menyadari akan pentingnya pendidikan agar bisa menjadi agen perubahan untuk Alor. Dan sekitarnya 🤗🤝👍

    BalasHapus

Posting Komentar